26.5.16

Tafsir Ibnu Katsir: Q.S. Al-Faatihah (1): 5


Gambar diambil dari http://islamichub.net/2015/06/worship-ibadah-and-servitude-ubudiyyah/

Q.S. Al-Faatihah (1): 5
“Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya Engkaulah kami mohon pertolongan.”

Tafsir Ibnu Katsir berkenaan ayat di atas:
Para ahli qira’at sab’ah dan jumhur ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya’ pada kata “iyyaaka”. Sedangkan kata “nasta’iinu” dibaca dengan memfathahkan huruf “nun” yang pertama.
Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk dan patuh. Sedangkan menurut syari’at, ibadah berarti ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan.

Didahulukannya maf’ul (objek), yaitu kata Iyyaka, dan (setelah itu) diulangi lagi, adalah untuk memberikan perhatian dan pembatasan. Artinya: ”Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu.” Inilah puncak kesempurnaan ketaatan, dan secara keseluruhan agama ini kembali kembali kepada kedua makna di atas.

Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa surat al-Faatihah adalah rahasia al-Qur-an, dan rahasia al-Faatihah terletak pada ayat iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iinu “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami mohon pertolongan.”

Penggalan pertama, yakni “Hanya kepada-Mu kami beribadah” merupakan pernyataan berlepas diri dari kemusyrikan. Sedangkan pada penggalan kedua, yaitu “Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” merupakan sikap berlepas diri dari segala upaya dan kekuatan (makhluk), serta menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.

Makna seperti ini disebutkan dalam lebih dari satu ayat di dalam al-Qur-an. Misalnya, pada firman-Nya: “Maka beribadahlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekai-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Huud: 123)

Dalam surat al-Faatihah ini terjadi perubahan bentuk kata ganti, dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhatab (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf “kaf” pada kata iyyaaka. Karena ketika hamba sedang memuji Allah (yang merupakan bentuk ketiga), maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. Oleh karena itu, Dia berfirman: “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iinu.”

Lebih lanjut, ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa awal-awal surat al-Faatihah merupakan pemberitahuan dari Allah Azza wa Jalla tentang pujian bagi diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut.

Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari al-‘Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari ayahnya dari Abu Hurairah r.a., Nabi Saw. bersabda:
“Aku telah membagi shalat menjadi dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku, apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan : ‘Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam,’ maka Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Dan jika ia mengucapkan: ‘Mahapemurah lagi Mahapenyayang.’ Maka Allah berfirman: ’Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’ Jika ia mengucapkan: ‘Yang menguasai hari pembalasan,’ maka Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.’ Jika ia mengucapkan: ’Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,’ maka Allah berfirman: ‘Inilah bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta.’ Dan jika ia mengucapkan: ‘(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani),’ maka Allah berfirman: ‘Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia minta.’

Firman-Nya “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah” didahulukan dari “dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” karena ibadah kepada-Nya merupakan tujua, sedangkan permohonan pertolongan hanya merupakan sarana untuk beribadah. Dan, sesuatu yang lebih penting harus didahulukan dari sesuatu yang tidak lebih penting darinya. Wallahu a’lam.

Jika ada yang bertanya: “Lalu, apa makna huruf “nun”pada firma Allah: “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iinu”. Jika huruf itu menunjukkan bentuk jama’ perlu diketahui bahwa yang mengucapkannya hanya satu orang. Dan, jika untuk pengagungan, maka yang dmeikian itu tidak sesuai dengan konteksi ini?”

Pertanyaan di atas dapat dijawab, bahwa yang dimaksudkan dengan huruf nun (kami) pada ayat ini adalah untuk memberitahukan mengenai jenis-jenis hamba. Dalam hal ini, orang yang shalat merupakan salah satu darinya, apalagi jika ia dilakukan secara berjama’ah. Atau ia ditujukan bagi imam dalam shalat yang mengungkapkan hal tersebut bagi dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang beriman tentang “ibadah” (mereka kepada Allah semata) yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan.

Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat agung yang dengannya seorang hamba (‘Abd) menjadi mulia. Karena dengan ibadah tersebut ia menyandarkan dirinya kepada Allah Swt saja. Allah Swt sendiri telah menyebut Rasul-Nya Saw sebagai hamba-Nya dalam maqam yang paling mulia, sebagaimana dalam firman-Nya: “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam,” (Q.S. Al-Israa’:1). Allah juga menyebut Muhammad Saw sebagai seorang hamba ketika menurunkan al-Qur-an kepadanya, ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari (pada peristiwa Isra dan Mi’raj). Bahkan, Allah Swt membimbingnya untuk senantiasa beribadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya. Allah Swt berfirman:

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Q.S. Al-Hojr: 97-99)

Tidak ada komentar:

Persiapan menuju Ramadan 1443H-Menyapih

Ramadan 1443 H tinggal menghitung hari. Kira-kira akan dimulai pada 2 April nanti. Setiap orang tentu memiliki persiapan masing-masing. Ada ...