Gambar diambil dari http://islamichub.net/2015/06/worship-ibadah-and-servitude-ubudiyyah/ |
Q.S. Al-Faatihah (1): 5
“Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya Engkaulah kami mohon
pertolongan.”
Tafsir Ibnu Katsir berkenaan ayat
di atas:
Para ahli qira’at sab’ah dan jumhur ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya’ pada kata
“iyyaaka”. Sedangkan kata “nasta’iinu” dibaca dengan memfathahkan huruf “nun” yang pertama.
Menurut bahasa, ibadah berarti
tunduk dan patuh. Sedangkan menurut syari’at, ibadah berarti ungkapan dari
kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan.
Didahulukannya maf’ul (objek), yaitu kata Iyyaka, dan
(setelah itu) diulangi lagi, adalah untuk memberikan perhatian dan pembatasan.
Artinya: ”Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal
kecuali hanya kepada-Mu.” Inilah puncak kesempurnaan ketaatan, dan secara
keseluruhan agama ini kembali kembali kepada kedua makna di atas.
Sebagian ulama Salaf mengatakan
bahwa surat al-Faatihah adalah rahasia al-Qur-an, dan rahasia al-Faatihah
terletak pada ayat iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iinu “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami mohon
pertolongan.”
Penggalan pertama, yakni “Hanya kepada-Mu kami beribadah” merupakan
pernyataan berlepas diri dari kemusyrikan. Sedangkan pada penggalan kedua,
yaitu “Hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan” merupakan sikap berlepas diri dari segala upaya dan kekuatan
(makhluk), serta menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.
Makna seperti ini disebutkan
dalam lebih dari satu ayat di dalam al-Qur-an. Misalnya, pada firman-Nya: “Maka beribadahlah kepada Allah dan
bertawakallah kepada-Nya. Dan sekai-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Huud: 123)
Dalam surat al-Faatihah ini
terjadi perubahan bentuk kata ganti, dari ghaib
(orang ketiga) kepada mukhatab (orang
kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf “kaf” pada kata iyyaaka. Karena
ketika hamba sedang memuji Allah (yang merupakan bentuk ketiga), maka
seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya. Oleh karena itu, Dia
berfirman: “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iinu.”
Lebih lanjut, ini merupakan dalil
yang menunjukkan bahwa awal-awal surat al-Faatihah merupakan pemberitahuan dari
Allah Azza wa Jalla tentang pujian bagi diri-Nya sendiri dengan berbagai
sifat-Nya yang Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya
dengan pujian tersebut.
Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari al-‘Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari
ayahnya dari Abu Hurairah r.a., Nabi Saw. bersabda:
“Aku telah membagi shalat menjadi
dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku, apa yang ia minta.
Jika ia mengucapkan : ‘Segala puji bagi
Allah, Rabb semesta alam,’ maka Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Dan jika ia mengucapkan: ‘Mahapemurah lagi Mahapenyayang.’ Maka
Allah berfirman: ’Hamba-Ku telah
menyanjung-Ku.’ Jika ia mengucapkan: ‘Yang
menguasai hari pembalasan,’ maka Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.’ Jika ia mengucapkan: ’Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,’ maka Allah berfirman: ‘Inilah bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku.
Untuk hamba-Ku apa yang ia minta.’ Dan jika ia mengucapkan: ‘(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi),
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani),’ maka Allah berfirman: ‘Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula
apa yang ia minta.’”
Firman-Nya “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah” didahulukan dari “dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan” karena ibadah kepada-Nya merupakan tujua, sedangkan permohonan
pertolongan hanya merupakan sarana untuk beribadah. Dan, sesuatu yang lebih
penting harus didahulukan dari sesuatu yang tidak lebih penting darinya. Wallahu a’lam.
Jika ada yang bertanya: “Lalu,
apa makna huruf “nun”pada firma Allah: “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iinu”.
Jika huruf itu menunjukkan bentuk jama’ perlu diketahui bahwa yang
mengucapkannya hanya satu orang. Dan, jika untuk pengagungan, maka yang
dmeikian itu tidak sesuai dengan konteksi ini?”
Pertanyaan di atas dapat dijawab,
bahwa yang dimaksudkan dengan huruf nun
(kami) pada ayat ini adalah untuk memberitahukan mengenai jenis-jenis hamba. Dalam
hal ini, orang yang shalat merupakan salah satu darinya, apalagi jika ia
dilakukan secara berjama’ah. Atau ia ditujukan bagi imam dalam shalat yang
mengungkapkan hal tersebut bagi dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang
beriman tentang “ibadah” (mereka kepada Allah semata) yang untuk tujuan inilah
mereka diciptakan.
Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat agung yang
dengannya seorang hamba (‘Abd)
menjadi mulia. Karena dengan ibadah tersebut ia menyandarkan dirinya kepada
Allah Swt saja. Allah Swt sendiri telah menyebut Rasul-Nya Saw sebagai
hamba-Nya dalam maqam yang paling mulia, sebagaimana dalam firman-Nya: “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam,” (Q.S. Al-Israa’:1). Allah juga menyebut
Muhammad Saw sebagai seorang hamba ketika menurunkan al-Qur-an kepadanya,
ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari
(pada peristiwa Isra dan Mi’raj). Bahkan, Allah Swt membimbingnya untuk
senantiasa beribadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan
orang-orang yang menentangnya. Allah Swt berfirman:
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit
disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan
jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah
Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Q.S. Al-Hojr: 97-99)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar