Gambar diambil dari http://assunnahfm.com/ |
Resensi Materi Kajian Rabu, 30 April 2014
oleh Ustadz Abdurrahman Assegaf
Kasus suami pelit >> istri boleh ambil nafkah dengan cara yang ma'ruf sesuai kebutuhan.
Hadist Aisyah r.a. (H.R. Bukhari):
Hindun binti Utbah berkata: Wahai Rasulullah, Abu Sufyan orangnya pelit. Kalau ngasih nafkah tidak mencukupi (aku dan anakku) kecuali saya ambil darinya dan dia tidak tahu, maka Rasul bersabda: ambil yang mencukupimu dan untuk anakmu yang ma'ruf.
Dalam hal ini, berdasarkan hadist ini bisa kita tarik pelajaran bahwa istri boleh menceritakan aib suami (contoh: Hindun bahwa suaminya pelit) kepada orang yang bisa menyelesaikan masalah (dalam contoh tadi Rasul). Orang yang bisa selesaikan masalah >> ulama,
ustadz. Nah.. kalau kepada teman, aib suami tidak boleh diceritakan.
Sebaik-baik di antara kita adalah yang paling baik terhadap kelaurganya. Orang dermawan adalah yang dermawan terhadap keluarga, tidak pelit terhadap isteri, anak, orang tua.
Suapan yang masuk ke isteri dan anak-anakmu adalah shodaqah. Orang yang sedekahkan untuk jihad, dibandingkan dengan memberikan ke anak istri, maka nilainya lebih baik ke anak isteri dibandingkan jihad.
Betapa besarnya kedudukan istri dan anak bisa kita lihat dari hal-hal berikut ini:
Orang fakir >> tidak boleh ambil harta kita, namun istri boleh ambil harta suami karena istri dan anak lebih tinggi haknya dari pada fakir ataupun jihad.
Simpulan:
ANAK-ANAK
Nafkah untuk anak:
Suami yang menalak, meski miskin >> tetap wajib memberi >> tentu semampunya, yang penting dia memberi.
Suami pelit, kemudian bercerai >> isteri tidak bsia ambil harta suami, tetapi anak boleh ambil untuk kebutuhan anak.
Dalam harta bapak >> ada haknya anak. Anak dan bapak tidak ada qisas. Anak bisa ambil harta bapak, pun sebaliknya, bapak bisa ambil harta anak.
Semisal isteri usai cerai, menikah dengan orang kaya, lalu anak dinafkahi oleh ayah barunya, apakah masih ada kewajiban bagi bapak untuk berikan nafkah?
Dalam hal ini, kalau kondisinya demikian, bapak tidak wajib berikan nafkah.
Kalau kau dapat ibunya, anaknya juga ikut >> kalau menikah dengan janda, anak ikut juga. Anak >> haknya istri.
Abdullah bin Amr bin Ash r.a.:
Seorang wanita datang dan berkata: Wahai Rasul, sungguh anakku ini perutku adalah tempatnya, air susuku adalah minumannya, tempat tidurku adalah tempat kembalinya. Ayahnya menceraikanku dan dia hendak mengambilnya dariku. Maka berkata Rasul Saw kepadanya: "Kamu lebih berhak terhadapnya selama belum menikah." (H.R. Ahmad dan Abu Daud, Hasan).
Materi kajian selanjutnya >> hadhonah (hak memelihara, mengasuh anak).
Kasus suami pelit >> istri boleh ambil nafkah dengan cara yang ma'ruf sesuai kebutuhan.
Hadist Aisyah r.a. (H.R. Bukhari):
Hindun binti Utbah berkata: Wahai Rasulullah, Abu Sufyan orangnya pelit. Kalau ngasih nafkah tidak mencukupi (aku dan anakku) kecuali saya ambil darinya dan dia tidak tahu, maka Rasul bersabda: ambil yang mencukupimu dan untuk anakmu yang ma'ruf.
Dalam hal ini, berdasarkan hadist ini bisa kita tarik pelajaran bahwa istri boleh menceritakan aib suami (contoh: Hindun bahwa suaminya pelit) kepada orang yang bisa menyelesaikan masalah (dalam contoh tadi Rasul). Orang yang bisa selesaikan masalah >> ulama,
ustadz. Nah.. kalau kepada teman, aib suami tidak boleh diceritakan.
Sebaik-baik di antara kita adalah yang paling baik terhadap kelaurganya. Orang dermawan adalah yang dermawan terhadap keluarga, tidak pelit terhadap isteri, anak, orang tua.
Suapan yang masuk ke isteri dan anak-anakmu adalah shodaqah. Orang yang sedekahkan untuk jihad, dibandingkan dengan memberikan ke anak istri, maka nilainya lebih baik ke anak isteri dibandingkan jihad.
Betapa besarnya kedudukan istri dan anak bisa kita lihat dari hal-hal berikut ini:
Orang fakir >> tidak boleh ambil harta kita, namun istri boleh ambil harta suami karena istri dan anak lebih tinggi haknya dari pada fakir ataupun jihad.
Simpulan:
- nafkah boleh diambil sesuai kebutuhan wanita, berbeda di satu zaman dengan zaman lain sesuai perbedaan zaman, tempat orang >> disesuaikan dengan keadaan orang yang hidup di zamannya. Kalau dulu mungkin nafkah hanya sebatas makan, minum, namun sekarang juga meliputi anak, biaya sekolah.
- Sungguh wanita yang ditalak:
- talak 1, 2, atau yang 3 kali quru'>> wajib diberikan nafkah. Nah kalau telah selesai masa iddah, namun tak ruju'>> ga wajib kasih nafkah.
- talak 3, hamil lalu melahirkan >> tidak wajib nafkah, kecuali masih menyusui anak >> tetap dapat nafkah.
ANAK-ANAK
Nafkah untuk anak:
- anak belum punya harta, belum bekerja >> wajib berikan nafkah pada anak.
- Meski iddah istri selesai, tapi kalau anak masih kecil-kecil >> anak-anak dapat nafkah.
- Bahkan kalau bapaknya meninggal, meski istri yang sudah dicerai tidak dapat hak waris >> anak tetap dapat waris.
- Kecuali anak-anak sudah besar, sudah dapat nafkah sendiri >> ga wajib berikan nafkah.
Suami yang menalak, meski miskin >> tetap wajib memberi >> tentu semampunya, yang penting dia memberi.
Suami pelit, kemudian bercerai >> isteri tidak bsia ambil harta suami, tetapi anak boleh ambil untuk kebutuhan anak.
Dalam harta bapak >> ada haknya anak. Anak dan bapak tidak ada qisas. Anak bisa ambil harta bapak, pun sebaliknya, bapak bisa ambil harta anak.
Semisal isteri usai cerai, menikah dengan orang kaya, lalu anak dinafkahi oleh ayah barunya, apakah masih ada kewajiban bagi bapak untuk berikan nafkah?
Dalam hal ini, kalau kondisinya demikian, bapak tidak wajib berikan nafkah.
Kalau kau dapat ibunya, anaknya juga ikut >> kalau menikah dengan janda, anak ikut juga. Anak >> haknya istri.
Abdullah bin Amr bin Ash r.a.:
Seorang wanita datang dan berkata: Wahai Rasul, sungguh anakku ini perutku adalah tempatnya, air susuku adalah minumannya, tempat tidurku adalah tempat kembalinya. Ayahnya menceraikanku dan dia hendak mengambilnya dariku. Maka berkata Rasul Saw kepadanya: "Kamu lebih berhak terhadapnya selama belum menikah." (H.R. Ahmad dan Abu Daud, Hasan).
Materi kajian selanjutnya >> hadhonah (hak memelihara, mengasuh anak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar