16.10.13

Adorable part4

Sabtu, 28 September, sekitar pukul setengah satu siang kami sampai di Pondok Saladah. Di Pondok Saladah ini kami bertemu dengan rombongan teman-teman kami lainnya semasa kuliah dulu. Rombongan mereka cukup besar,  berjumlah sekitar 20 orang. Selanjutnya, kami pun mencari tenda Dhani dengan warna kuning. Di bawah pohon-pohon itulah Dhani telah memasang 2 tenda. Wow, pemilihan tempat yang bagus karena di bawah pohon lebih sejuk! Perut sudah terasa keroncongan sehingga kami memutuskan memasak terlebih dahulu. Kompor dikeluarkan, pun dengan peralatan masak lainnya. Menu makan kali ini adalah mie dan sosis. Sayangnya, mie kami masak lebih dulu daripada nasi. Akibatnya, mie bisa dibilang “lodrok” alias mengembang.


Memasak nasi adalah hal terunik dari pengalaman memasak kali ini. Kebiasaan kalau memasak nasi di rumah menggunakan ketel adalah diaduk setelah uap keluar. Tetapi sang pemilik kompor, Dhani, melarang kami melakukannya. Alih-alih mengaduk, dia mengatakan kurang lebih begini, “Jangan diaduk! Itu akan bikin gosong. Jadi, setelah kira2 air habis, tuang lagi airnya, habis tuang lagi, begitu seterusnya sampai nasi matang. Masaknya kayak ricecooker.” Haha. Demikian Dhani memberikan nasihat bagaimana memasak nasi dengan peralatan itu. Spontan kami pun menjawab, “rice cooker ku ga gitu,” yang lainnya pun menimpali,”rice cookerku cukup satu kali diisi air, abis itu dibiarin, udah deh mateng.” Hehe.

Setelah nasi, mie, dan sosis matang, kami ber-8 pun berkumpul di “ruang makan”. Matras telah digelar sebagai alas duduk kami. Di sela-sela hendak menyantap makanan kali ini, Dhani bilang, “pengairan, pengairan” (sambil menyodorkan nutr*sa*i). Kemudian dia meninggalkan ruang makan, mengambil telur untuk dimasak. Sanda pun bersiap-siap merebus air. Begitu Dhani menuju ke ruang makan dan melihat air sedang direbus, dia pun bertanya, “Ini (sambil menunjuk) ke air (direbus) buat apa?” Kami menjawab, “Buat pengairan.” Dhani pun menjelaskan sebenarnya pengairan itu airnya tidak perlu dimasak, cukup air biasa langsung dikasih nutr*sa*i. Namun, karena sudah terlanjur dimasak, jadi tidak mengapa, Terlebih di gunung kan dingin, air hangat bukankah akan lebih menghangatkan badan?J Hal menarik lainnya dari kegiatan pertama memasak ini, yaitu warna telur (cair) yang akan dimasak sama dengan pengairan ala nutr*sa*i, saking miripnya bahkan susah dibedakan kalau dari jauh. Haha.

Usai makan, kami pun menunaikan sholat Dhuhur dengan Sanda sebagai imamnya. Saat itu sekitar pukul setengah 3 maka usai sholat pun kami tidak beranjak dari situ, sekalian menunggu untuk sholat Ashar. Setelah menunaikan sholat Ashar, kami bertekad sore itu juga langsung summit (puncak) supaya Ahad tinggal bersenang-senang (foto-foto). Dhani pun mengomandokan untuk bersiap-siap sambil berpesan, semua barang-barang ditinggal kecuali barang berharga dan sedikit bekal, roti dan coklat, tidak lupa, air minum.

Sebelum berangkat, bagian penting yang tidak pernah terlupa adalah berdoa. Selanjutnya, mumpung masih di Pondok Saladah, tak lupa, kami mengisi botol air minum dengan air sebagai bekal di perjalanan. Mula-mula medan yang kami lewati adalah hutan mati yang terdiri dari pohon-pohon dengan warna batang kehitam-hitaman dan tidak berdaun. Selanjutnya kami pun melewati tanjakan mamang. Tanjakan ini cukup tajam sehingga saya sempat terjatuh sekali. Saat itu Dhani mengingatkan kami untuk tidak perlu takut-takut untuk menggapai apa saja karena itu akan membantu kerja kaki, tetapi liat-liat juga apa yang dijadikan pegangan, pastikan itu kuat. Jangan ragu-ragu dalam berpijak! Kalau capek, napas tersengal-sengal, badan rukuk, itu akan membantu. Setelah rukuk, tegakkan badan kembali, angkat kepala dan atur napas kembali sebaik mungkin.

Oiya, baik di hutan mati maupun di tanjakan mamang ini kami berpapasan dengan para pendaki lain. Mereka memberi semangat sambil mengatakan bahwa tidak lama lagi kami akan sampai di tegal alun. Para pendaki tersebut sebagian besar membawa kayu. Pada awalnya saya berpikir kayu itu untuk dimasak. Belakangan baru saya sadari setelah kami tiba kembali di Pondok Saladah bahwa kayu itu untuk api unggun.


Tidak begitu lama setelah melewati tanjakan mamang itulah, kami pun sampai di tegal alun. Di tegal alun inilah bisa kita jumpai padang edelweiss sebegitu banyaknya. Namun, sore itu padang edelweiss dipenuhi kabut, tetapi, sama sekali tidak mengurangi kebahagiaan bagi kami untuk bisa melihat, menikmati, dan mengabadikan indahnya bunga ini. Rasanya setimpal dengan perjuangan untuk sampai di sini, bahkan lebih! Usai kami berfoto-foto kami pun memutuskan untuk summit meski dengan risiko kami akan menghadapi gelapnya malam. Dalam hati, saya sungguh bersyukur perjuangan bagi kami untuk summit terasa diberkahi, karena tak lama berselang, kabut  telah menghilang, pandangan pun jelas terlihat. Alhamdulillah.


---foto-foto diambil dari kamera Sanda

Jakarta, 14-15 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Persiapan menuju Ramadan 1443H-Menyapih

Ramadan 1443 H tinggal menghitung hari. Kira-kira akan dimulai pada 2 April nanti. Setiap orang tentu memiliki persiapan masing-masing. Ada ...